Minggu, 08 September 2013

0 Kontroversi Gadai Syariah


     Menjamurnya bank-bank syariah pada saat ini merupakan sebuah fenomena yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat luas. Dengan membawa label syariah, bank syariah mampu menarik perhatian masyarakat muslim sehingga percaya untuk menggunakan berbagai produk dan jasa yang disediakan oleh bank-bank syariah. Label syariah seakan menjamin kehalalan transaksi yang terjadi pada bank syariah secara keseluruhan.

Perkembangan  perbankan syariah tak lepas dari berbagai kontroversi mengenai apakah benar seluruh produk dan jasa yang ditawarkan 100% halal atau tidak. Apakah bank-bank syariah benar-benar menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman dalam menjalankan usahanya?

Nah, untuk itu pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai salah satu layanan dari bank syariah yang menuai kontroversi, yaitu gadai syariah.


Salah satu jasa layanan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat menengah ke bawah ialah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang. Gadai syariah merupakan layanan yang disediakan oleh bank syariah guna membantu masyarakat yang membutuhkan dana untuk keperluan tertentu. Jadi, hal yang kita mesti ingat bahwa dalam gadai syariah ialah murni transaksi tolong-menolong, tidak boleh mengambil keuntungan, apalagi menerapkan bunga.

عَنْ فَضَالَّةَ بْنِ عُبَيْدٍ صَاحِبِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا.
Fadhalah bin Ubaid mengatakan, “Semua transaksi utang piutang yang menghasilkan keuntungan adalah salah satu bentuk riba” [Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 11252].
Lalu apa yang jadi masalah dari gadai syariah?
Dalam bank syariah, gadai atau rahn dipraktekkan secara sempit melalui gadai emas, artinya nasabah menggadaikan emasnya untuk memperoleh dana dalam jumlah tertentu. Emas berfungsi sebagai jaminan. Kemudian, bank syariah mengambil untung melalui “biaya titip” yang mesti dibayarkan oleh nasabah gadai.

Emas milik nasabah akan dinilai berdasarkan nilai yang berlaku pada saat itu. Dalam hal ini tidak dinisbahkan semua, melainkan hanya 95% dari nilai yang berlaku pada saat itu. Misal harga 5 gram emas  yang berlaku pada saat itu adalah  Rp. 2.500.000,-. Nah yang dinisbahkan hanya 95% saja dari Rp. 2.500.000 atau dengan kata lain senilai Rp. 2.375.000,-

Tidak berhenti sampai di situ. Dari harga taksiran senilai Rp. 2.375.000,- tersebut hanya 90% lah dana yang dikabulkan oleh bank untuk dipinjamkan kepada nasabah (senilai Rp. 2.137.500).

Nah sudah jelas bukan, dari harga emas yang berlaku pada saat itu bahwa 5 gram emas senilai Rp. 2.500.000,- hanya senilai Rp. 2.137.500,- lah yang didapat oleh nasabah gadai. (Terdapat selisih sebesar Rp. 362.500).

Nasabah gadai syariah juga dibebankan biaya penitipan atas barang yang ia gadaikan dengan akad ijarah (sewa). Perhitungan biaya penitipan ialah:

Biaya titip x berat emas (gr) x jk waktu

Biaya penitipan yang ditetapkan bersifat fixed (tetap). Nasabah wajib mengembalikan sejumlah dana yang dipinjamkan oleh bank ditambah dengan upah untuk bank syariah. Hal tersebut sangatlah ‘sama percis’  dengan apa yang diterapkan oleh bank konvensional melalui sistem bunga tetap (fixed)

Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW, ”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir). 

Dalam gadai syariah pun seharusnya biaya penitipan dan penyimpanan itu dibebankan kepada penerima gadai (murtahin), yaitu bank syariah, bukan nasabah. 

Sabda Rasulullah SAW, ”Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.” (HR Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasa`i).

Tidak cukup sampai di situ, bank syariah dengan liciknya juga menjadikan gadai yang merupakan transaksi sosial yang bersifat tolong-menolong sebagai transaksi yang menguntungkan dengan menerapkan akad rangkap (multi-akad), yaitu gabungan akad rahn (gadai) dan ijarah (sewa). Padahal menerapkan dua akad dalam satu transaksi merupakan hal yang sifatnya haram.

Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, beliau berkata, ”Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin)” (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398).
Wallahu a’lam. Demikianlah pembahasan mengenai kontroversi gadai syariah pada bank syariah, mudah-mudahan memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. Sekian.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fiqih Muamalat Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates