Menjamurnya bank-bank syariah pada saat ini merupakan sebuah
fenomena yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat luas. Dengan membawa label
syariah, bank syariah mampu menarik perhatian masyarakat muslim sehingga
percaya untuk menggunakan berbagai produk dan jasa yang disediakan oleh
bank-bank syariah. Label syariah seakan menjamin kehalalan transaksi yang
terjadi pada bank syariah secara keseluruhan.
Perkembangan perbankan syariah tak lepas dari berbagai kontroversi
mengenai apakah benar seluruh produk dan jasa yang ditawarkan 100% halal atau
tidak. Apakah bank-bank syariah benar-benar menjadikan al-Qur’an dan Sunnah
sebagai pedoman dalam menjalankan usahanya?
Nah,
untuk itu pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai salah satu
layanan dari bank syariah yang menuai kontroversi, yaitu gadai syariah.
Salah
satu jasa layanan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat menengah ke bawah
ialah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang. Gadai syariah
merupakan layanan yang disediakan oleh bank syariah guna membantu masyarakat
yang membutuhkan dana untuk keperluan tertentu. Jadi, hal yang kita mesti ingat
bahwa dalam gadai syariah ialah murni transaksi
tolong-menolong, tidak boleh mengambil keuntungan, apalagi menerapkan bunga.
عَنْ فَضَالَّةَ بْنِ عُبَيْدٍ صَاحِبِ النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ
وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا.
Fadhalah
bin Ubaid mengatakan, “Semua transaksi
utang piutang yang menghasilkan keuntungan adalah salah satu bentuk riba”
[Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 11252].
Lalu
apa yang jadi masalah dari gadai syariah?
Dalam
bank syariah, gadai atau rahn dipraktekkan secara sempit melalui gadai emas,
artinya nasabah menggadaikan emasnya untuk memperoleh dana dalam jumlah tertentu.
Emas berfungsi sebagai jaminan. Kemudian, bank syariah mengambil untung melalui
“biaya titip” yang mesti dibayarkan oleh
nasabah gadai.
Emas
milik nasabah akan dinilai berdasarkan nilai yang berlaku pada saat itu. Dalam
hal ini tidak dinisbahkan semua, melainkan hanya 95% dari nilai yang berlaku
pada saat itu. Misal harga 5 gram emas yang
berlaku pada saat itu adalah Rp.
2.500.000,-. Nah yang dinisbahkan hanya 95% saja dari Rp. 2.500.000 atau dengan
kata lain senilai Rp. 2.375.000,-
Tidak
berhenti sampai di situ. Dari harga taksiran senilai Rp. 2.375.000,- tersebut
hanya 90% lah dana yang dikabulkan oleh bank untuk dipinjamkan kepada nasabah
(senilai Rp. 2.137.500).
Nah
sudah jelas bukan, dari harga emas yang berlaku pada saat itu bahwa 5 gram emas
senilai Rp. 2.500.000,- hanya senilai Rp. 2.137.500,- lah yang didapat oleh
nasabah gadai. (Terdapat selisih sebesar Rp. 362.500).
Nasabah
gadai syariah juga dibebankan biaya penitipan atas barang yang ia gadaikan
dengan akad ijarah (sewa).
Perhitungan biaya penitipan ialah:
Biaya
titip x berat emas (gr) x jk waktu
Biaya
penitipan yang ditetapkan bersifat fixed
(tetap). Nasabah wajib mengembalikan sejumlah dana yang dipinjamkan oleh bank
ditambah dengan upah untuk bank syariah. Hal tersebut sangatlah ‘sama percis’ dengan apa yang diterapkan oleh bank
konvensional melalui sistem bunga tetap (fixed)
Dari Anas RA, bahwa Rasulullah
SAW, ”Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil
hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir).
Dalam gadai syariah pun seharusnya biaya penitipan dan
penyimpanan itu dibebankan kepada penerima gadai (murtahin), yaitu bank syariah, bukan nasabah.
Sabda Rasulullah SAW, ”Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan
boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, dan binatang ternak yang digadaikan
dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan
kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.”
(HR Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasa`i).
Tidak
cukup sampai di situ, bank syariah dengan liciknya juga menjadikan gadai yang
merupakan transaksi sosial yang bersifat tolong-menolong sebagai transaksi yang
menguntungkan dengan menerapkan akad
rangkap (multi-akad), yaitu gabungan
akad rahn (gadai) dan ijarah (sewa). Padahal
menerapkan dua akad dalam satu transaksi merupakan hal yang sifatnya haram.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, beliau berkata, ”Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam
satu kesepakatan (shafqatain
fi shafqatin)” (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398).”
Wallahu a’lam. Demikianlah
pembahasan mengenai kontroversi gadai syariah pada bank syariah, mudah-mudahan
memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. Sekian.
0 komentar:
Posting Komentar